Jumat, 16 Oktober 2015

Xenophrys parallela




Sumber : http://www.wildborneo.com

 Xenophrys parallela (yang memiliki nama sinonim Megophrys paralella) masuk ke dalam famili Megophryidae. Genus Xenophrys beranggotakan  46 spesies dan terdistribusi di Asia Tenggara dari wilayah Himalaya selatan sampai timur ke Kalimantan. Spesies ini merupakan hewan endemik Indonesia yang hanya dapat ditemukan pada ketinggian 1.289-1.320 mdpl pada Batang Sarasah, Lubuk Selasih, dekat Solok (Sumatera Barat). Spesies ini memiliki kemiripan dengan Megophrys aceras dari Semenanjung Melayu sehingga diharapkan memiliki distribusi yang luas di hutan pegunungan di sepanjang pantai barat Sumatera (Inger dan Iskandar 2005).
Habitat alami amphibi ini adalah hutan pegunungan tropis lembab dan sungai. Katak ini juga ditemukan pada hutan primer dan sekunder, yang menandakan bahwa spesies ini memiliki kadar toleransi yang tinggi terhadap degradasi habitat. Spesies ini dapat ditemukan juga pada daun mati serta batang kayu kecil di tepi sungai. Sifat hidup katak dewasa dari spesies ini adalah terrestrial karena hidupnya hampir seluruhnya di atas air. Katak ini kerap bersembunyi di bawah serasah hutan, dan baru pada malam hari aktif menjelajahi lantai hutan hingga ke pinggiran sungai. Sedangkan larvanya bersifat akuatik karena perkembangan hidupnya terjadi di sungai (Inger 2006).
Xenophrys parallela memiliki ciri unik yaitu terdapatnya runcingan seperti tanduk di atas matanya, yang merupakan modifikasi dari kelopak matanya. Sepasang runcingan kulit lain yang lebih kecil terdapat di ujung-ujung rahang. Pada umumnya famili ini berukuran tubuh kecil (60-95 mm), agak gendut dengan tungkai relatif pendek sehingga pergerakannya lambat dan kurang lincah. Kaki dan tangan berwarna kuning serta dilengkapi dengan selaput renang yang sangat pendek.

Minggu, 04 Oktober 2015

Proposal Penelitian



Pengaruh Ketinggian Lahan terhadap Tingkat Produksi
Buah Pala (Myristica fragrans Houtt)

I.       PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan tanaman rempah yang berasal dari Kepulauan Banda dan Maluku. Tanaman pala dapat tumbuh subur pada ketinggian 500-700 mdpl dengan iklim tropis 18-34°C dan curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun. Daerah penghasil utama pala di Indonesia adalah Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara, Sumatra Barat, Nanggroe Aceh Darusalam, Jawa Barat dan Papua. Terdapat lima jenis pala yang tumbuh subur di Indonesia, yaitu Myristica fragrans, M. argenta Warb, M. scheffert Warb, M. Speciosa, dan M. Succeanea (Nurdjannah 2007).
Pala dikenal sebagai tanaman rempah multiguna karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri. Bagian tanaman pala yang memiliki nilai ekonomis adalah daging buah, fuli, tempurung dan biji. Biji dan fuli yang berasal dari buah yang cukup tua dimanfaatkan sebagai rempah, sedangkan yang berasal dari buah yang muda dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak pala karena kandungan minyak atsirinya yang jauh lebih tinggi daripada biji yang berasal dari buah yang tua. Indonesia merupakan negara pengekspor biji dan fuli pala terbesar di dunia, sehingga kualitas dan kuantitas produksinya sangat penting untuk dijaga (Rismunandar 1990).
Pohon pala terbagi menjadi daging buah, fuli, tempurung dan biji yang seluruhnya dapat dimanfaatkan. Daging buah pala mempunyai sifat astringensia sehingga cocok untuk dijadikan bahan konsumsi. Biji pala mengandung minyak atsiri sekitar 2-16%, fixed oil (minyak lemak) sekitar 25-40%, karbohidrat sekitar 30% dan protein sekitar 6%. Minyak pala dan fuli digunakan pada produk-produk daging untuk menambah citarasa (Librianto 2004). Kandungan minyak atsiri pala meliputi miristicin, pinen, sabinen, kamfen, elemisin, isoelemisin, eugenol, isoeugenol, metoksieugenol, safrol, dimerik olipropanoat, lignan, dan neolignan. Miristicin memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor sedangkan elimisin mempunyai efek intoksikasi (Jukic et al. 2006; Morita et al 2003). Biji pala dapat menjadi obat karena bersifat karminatif (peluruh angin), antiemitik (anti mual), spasmolitik, stomakik serta stimulan (Weil 1966). Pala juga berguna untuk mengobati mual, maag, desentri, mengurangi flatulensi, serta mengobati perut kembung. Ekstrak kloroform pala juga mempunyai aktivitas antidiare dengan meningkatkan kandungan ion-ion Na dan Cl dalam jaringan (Sonavane et al. 2001).
Tanaman pala baru mulai berproduksi pada usia 5-10 tahun dan mulai menurun hasil produksinya di usia 50 tahun. Tanaman pala Banda mempunyai umur produksi 7-80 tahun, dengan produktivitas untuk biji 500-800 kg/ha/tahun dan untuk fuli 100-160 kg/ha/tahun. Di daerah Banda dikenal 3 macam waktu panen pala, yaitu panen raya (pertengahan musim hujan), panen lebih sedikit (awal musim hujan), dan panen kecil (akhir musim hujan) (Bustaman 2008).
Tanaman pala juga dapat tumbuh pada wilayah yang memiliki iklim hampir serupa dengan Banda dan Maluku. Kota Sukabumi, Cianjur, serta Bogor memiliki jumlah perkebunan pala yang cukup tinggi. Kota Sukabumi memiliki ketinggian lahan antara 0-2960 mdpl dengan suhu udara 17-24°C. Kota Cianjur merupakan kota dengan ketinggian lahan 450-750 mdpl dengan suhu udara 19-24°C . Kota Bogor memiliki ketinggian lahan 190-330 mdpl dengan suhu udara 26°C dan kelembaban udaranya sekitar 70% (Rusdiana dan Saptati 2009).
1.2  Rumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh ketinggian lahan tempat penanaman pohon terhadap kuantitas produksi buah pala?
1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian Pengaruh Ketinggian Lahan terhadap Produktifitas dan Kandungan Minyak Atsiri Buah Pala (Myristica fragrans Houtt) adalah mengetahui bahwa ketinggian lahan tempat penanaman pohon berpengaruh terhadap jumlah produksi buah pala
1. 4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah produksi buah pala dapat meningkat sehingga kegiatan ekspor biji dan fuli pala ke luar negeri dapat semakin menguntungkan.

II.    METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi dan Waktu
            Penelitian akan dilaksanakan di tiga kota berbeda, yaitu Sukabumi, Bogor dan Cianjur serta Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Waktu yang dibutuhkan dalam pengerjaan penelitian adalah 3 bulan, dimulai dari bulan Desember 2015 sampai Februari 2016.
2.2 Alat dan Bahan
            Penelitian ini menggunakan kebun milik warga atau Perhutani yang terdapat di 3 kota berbeda. Kebun yang digunakan sebanyak lima kebun dengan jumlah pohon masing-masing yang digunakan adalah 50 pohon. Selain itu, alat yang digunakan adalah 4 in 1, pH meter, serta timbangan.
2.3 Metode
Pengamatan dimulai dengan pengukuran ketinggian lahan setiap kebun pala yang tumbuh di Bogor, Cianjur dan Sukabumi dengan cara survey ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah masing-masing kota. Ukur mikroklimat (intensitas cahaya, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban udara) di setiap kebun, kemudian dipilih masing-masing 5 kebun yang dapat mewakili 3 ketinggian lahan yang dimaksud (tepat 700 mdpl, di bawah 700 mdpl, di atas 700 mdpl). Pemilihan kebun diusahakan yang memiliki jarak saling berdekatan pada setiap kotanya untuk memudahkan pengamatan serta yang memiliki mikroklimat yang hampir serupa. Kemudian dipilih 50 pohon dari masing-masing kebun yang berusia produktif (25-40 tahun). Variabel-variabel yang mempengaruhi produktifitas pohon, selain ketinggian lahan, diusahakan sama. Pohon pala yang memiliki buah agar dipetik sehingga semua pohon pada setiap kebun memiliki keadaan yang sama. Jumlah buah pala yang dihasilkan dihitung pada masing-masing kebun sampai pada pengamatan bulan ke-2.
Setelah buah pala hasil panen terkumpul, masing-masing buah dari setiap kebun dengan ketingian lahan yang berbeda dibawa ke Laboratorium Fisiologi Tumbuhan IPB untuk diadakan pengamatan selanjutnya. Jumlah buah pala hasil panen dari masing-masing kebun dengan ketinggian lahan yang berbeda ditimbang beratnya. Nilai hasil timbangan kemudian diakumulasikan untuk semua ulangan pada masing-masing perlakuan. Pengolahan data dilakukan dengan memisahkan antara 3 perlakuan yang berbeda, sehingga dari pengolahan data didapatkan kesimpulan perlakuan mana yang paling tepat sehingga produksi buah pala menjadi maksimal.